![]() |
Gambar: bp.blogspot.com |
Karya Intan Nurmaya Sari
Sinar terang yang menyilaukan, sunyi, sepi dalam kegelapan dan ketakutan. Suara ritme jantung terdengar di ruang operasi. Sakit tidak kurasakan saat ini, saat aku terlelap dalam tidurku. Mungkin sekarang aku berada di surga yang indah,semua rasa sakit yang kurasakan telah sirna. Suasana yang berbeda saat aku mendengar suara tangisan wanita yang semakin keras di telingaku. Suara yang semakin dekat, semakin keras, membuatku terbangun dari tidur lelapku. Mataku terbuka walaupun sedikit berat, dan saat itu aku melihat perempuan menangis duduk di sebelahku sambil menggengam tanganku. Perempuan paruhbaya memanggil namaku.Aku sedikit bingung . Aku tak mengenal wanita ini. Sambil menggenggam tanganku wanita itu menjelaskan semua kepadaku secara perlahan.
***
Suara merdu dan semilir angin menemanilangkahku dalam lorong-lorong kelas.
“Hizra!” seseorang memanggilku.
Ya, itu nama yang indah yang diberikan bunda untukku. Aku lahir pada tanggal 26 Oktober 1998. Aku menoleh kebelakang dan yang kulihat laki-laki yang sering disama-samakan denganku. Dia bernama Hariz. Memang benar teman-teman menyamakanku dengannya. Kami mempunyai banyak kesamaan dari nama yang beda tipis, nilai yang sama, hobi yang sama, dan masih banyak lagi. Aku juga sedikit bingung kenapa kami punya banyak kesaman. Hariz yang selalu cerewet yang selalu menanyakan keadaanku, memang akhir-akhir ini dia sedikit berbeda. Dia memberi perhatian khusus untukku dan mulai saat itu ada perasaan yang aneh menghampiriku.
Alunan merdunan indah terdengar di telingaku. Senar gitar yang dipetik selaras dengan jari jemari Hariz. Suaraku mengalun perlahan beriringan dengan suara gitar Hariz. Suara indah yang seketika hilang karena teriakan temanku Fia,
“Ciye, ciye yang lagi berduaan, baru aja ditinggal sebentar ke kantin beli minum udah pada..,” ucapnya terhenti.
“Hus, apaan sih, Fi ? Kami kan cuma duet aja. Siapa yang lagi berduaan?Tuh, lihat ada si Didit di sana!” tepis Hariz.
“Iya, apaan sih, Fi kamu? Kami kan cuma lagi nyanyi buat acara pensi besok,” ucapku memperjelas.
“Iya-iya aku kan cuma bercanda Hiz,” suaranya lirih.
Denting lonceng yang berbunyi membuyarkan obrolan mereka. Langkah sepatu yang semakin jelas terdengar. Ya, suara dari sepatu seorang guru kimia, Pak Ridwan. Guru yang selalu ditakuti di kalangan siswa-siswi di sekolah ini.
“ Selamat pagi semua! Pagi hari ini akan ada pretes. Siapkan waktu 10 menit untuk persiapan!”
Suara yang besar dan sedikit menakutkan menurut mereka. Tapi, tidak denganku. Pak Ridwan adalah seseorang yang sangat cerdas dan bijaksana. Materi yang dia berikan selalu mudah untuk kupahami.
Sunyi sepi dan menegangkan. Ya, itulah suasana yang tergambar saat pelajaran di mulai.
Denting lonceng tanda pelajaran usai terdengar begitu keras, anak-anak pun berhamburan keluar.
“ Aku pulang dulu ya, Hiz, daa!” ucap Fia sambil melambaikan tangannya.
“ Ya Fi, sampai ketemu besok,” sahutku.
Bunyi klakson mobil bunda sudah terdengar jelas. Aku bergegas menghampirinya. Bukan aku anak yang manja tapi bunda selalu khawatir dengan keadaanku setelah aku operasi mata satu minggu yang lalu, karena kedua mataku yang tidak bisa melihat. Terlihat seseorang berdiri dari kejauhan menatap ke arahku dan bunda tapi sepertinya aku mengenalnya, pandangan yang tidak begitu jelas karena kornea mataku yang sebelah kanan rusak.
“ Ayo Bun, kita pulang!” kataku perlahan.
“ Ya, tapi kita ke rumah teman Bunda dulu ya? Mau ngantar barang,” jawab Bunda.
Mesin mobil yang halus dan alunan musik dari radio menemani perjalananku dan Bunda. Pikiranku terpenuhi oleh bayang-bayang Hariz, tanpa kusadari aku telah suka pada Hariz.
“Kok senyum-senyum sendiri ada apa, Dik?” tanya Bunda kepo.
“ E,,eeenggak papa kok, Bun,” tepisku mengelak. Hampir setengah jam di perjalanan, aku memandangi indahnya sudut kota di sore hariyang sangateksotis. Mobilku terhenti di depan rumah yang indah dengan rumput-rumput hijau yang menyambut.Rumah itu sangat asing bagiku karena belum pernah aku bertandang ke sana.
“Ayo Dik, kita masuk!” kata Bunda sambil melangkah keluar dari mobil. Aku bergegas mengikuti Bunda.
Bunda memencet bel,“Ting tung,, Assalamualaikum,,.”
“Waalaikumsallam”, jawab seorang laki-laki yang muncul dibalik pintu rumah itu. Ia tidak asing lagi bagiku Wajah bunda berubah seketika. Raut wajahnya yang terlihat sedih membuat tanda tanya besar dalam diriku.
“Silahkan masuk Tante! Ma ini ada tamu!” sambil dia melangkah menuju ruang tamu.
“Mbak, gimana kabarnya? Oh, ini Hizra ya? Wah, sudah besar sekarang,” kata perempuan itu sambil berjabat tangan dengan bundaku. Mereka terlihat seperti sudah lama saling mengenal. Mereka berbincang-bincang cukup lama dan aku masih kaget dan tidak menyangka dengan semua kejadian ini.
“Hizra, kamu teman sekelasnya Hariz, ya?”
“ Iya, Tante, saya teman sekelas Hariz,” jawabku dengan wajah yang masih sedikit linglung.
Waktu yang sudah mulai gelap membuat bundaku berpamitan untuk pulang.
”Kalo begitu saya pamit pulang dulu ya, Mbak?”
“Oh, iya, hati-hati ya?”jawabnya sambil melambaikan tangannya. Suasana yang sepi terlihat begitu jelas dirumah ini karena hanya ada dua orang penghuni.
“ Hariz, kamu udah tidur, Nak?” suara itu, suara itu ingin ku dengar dari bundaku. Ya, bunda yang telah melahirkan aku. Tetapi, kenapa keadilan tidak berpihak kepadaku? Kenapa ya,Allah? Kenapa harus aku yang mendapatkan cobaan ini? Kenapa dunia ini begitu kejam?
“ Hhhhhhhaaaaaaa!” teriakan terdengaar begitu keras dari dalam kamar Hariz,
“ Hariz, kamu...” suaranya terhenti ketika dia melihat Hariz menangis dan terlihat sangat kacau
“ Istighfar, Nak, istighfar!” dia ikut menangis. Dia memang sangat menyayangi Hariz walaupun dia bukan mama kadung Hariz. Dia sebenarnya cuma anak angkat.
“Ma kenapa?Kenapa aku harus menjauh dari Bundaku? Kenapa aku harus berpisah dengannya Ma, kenapa? Apa bunda membenciku? Kenapa aku harus dibedakan?”
“ Bunda tidak membencimu, malah dia sangat menyayangimu. Sekarang Mama tanya, apa kamu sangat menyayangi adikmu?”
“Ya aku menyayanginya lebih dari aku menyayangi diriku sendiri,” sangat jelas memang Hariz menyayangi kembarannya sampai-sampai dia rela mengorbankan kornea mata sebelah kirinya untuk adiknya itu.
“Bundamu menyayangi kalian dan dia tidak ingin kehilangan satupun dari kalian. Maka dari itu, bundamu menitipkanmu padaku, karena dia tidak ingin melihat salah satu dari kalian terluka.”.Suasana sudah sedikit mereda, Hariz pun terlelap dalam mimpinya.
Sinar mentari yang hangatmenembus jendela kamar Hariz. Dia terbangun dengan wajah yang sedikit kusut karena kejadian semalam. Dia sangat ingin memeluk bundanya. Jangankan memeluk, berjabat tangan dengan bundanya saja dia tidak kuasa. Hari ini, hari yang sangat dinantikan Hariz. Ya, hari ini dia harus duet dengan saudara kembarnya. Dengan langkah yang terburu-buru Hariz bergegas berangkat ke sekolah. Langkahnya terhenti di sebuah lorong kelas. Dia melihat dua orang wanita yang dia sayangi.
“Bunda, aku ingin memeluk Bunda. Aku ingin diantar jemput seperti Hizra,Bunda,” suaranya lirih karena dia tidak ingin Hizra tahu tentang hal ini. Hariz yang tidak kuasa melihat semua itu melangkah pergi menuju aula untuk mempersiapkan diri.
“ Hariz, apa kamu tidak apa-apa? Kamu terlihat sangat kusut hari ini,” kata Hizra saat ia akan naik ke panggung bersama Hariz. Alunan musik yang merdu terdengar begitu indah saat si kembar tampil bersama. Semua penonton menangis mendengar duet mereka. Apalagi orang yang mendapatkan lagu ini, air mata yang terus mengalir dari mata seorang ibu yang mendengar lagu “BUNDA” karya Melly Gowslow. Harizpun hanyut dalam lagu itu. Air mata yang akan jatuh dari matanya harus ia tahan sampai pertunjukkan itu selesai.
Suara tepuk tangan sangat gemuruh di dalam aula itu.“ Wow, pertunjukan kalian sangat indah! Sampai-sampai membuat air mata penonton bercucuran,”
“Terimakasih, tapi kamu berlebihan,Fi. Karena hari ini aku sangat senang, aku akan membelikanmu minum, Fi,” mereka berdua pergi tanpa mengajak Hariz.Ya, mereka memang tahu kalau Hariz tidak bisa makan makanan di kantin. Suara anak-anak ricuh mondar-mandir naik turun dari tangga karena hari ini jam kosong. Hariz yang duduk di balkon dekat tangga menatap Hizra yang berbincang dengan Fia.
“Mata itu, itu milikku aku bisa merasakannya,” tatapannya buyar karena Hizra menyadari bahwa Hariz tengah memperhatikannya,
“Sebentar ya, Fi, aku tinggal dulu.”Ucapku sambil melangkahmendekatiHariz dengan tatapan yang penuh tanda-tanya.
“Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu memperhatikanku? Kenapa kamu begitu peduli denganku ? Kenapa? Siapa kamu sebenarnya?Kamu, ada ikatan apa diantara kita?” tanyaku pada Hariz dengan sedikit tercekat.
Dengan wajah yang cukup meyakinkan Hariz mulai menjawab,
“Mungkin kita... jodoh,” jawaban yang terdengar lucu.Hariz bergegas pergi.Air mata yang telah lama dia tahan tak sanggup dia bendung lagi. Sejujurnya Hariz sudah tidak sanggup menyembunyikan ini semua. Tapi, kembali lagi dia tidak ingin menyakiti adiknya. Tanpa dia sadari dia sangat tersiksa dalam kenyataan yang menyakitkan ini.
Bunda yang berdiri di kejauhan, diam-diam memperhatikan Hariz. Tapi, semua itu berakhir saat aku datang.“Ayo Bun!” aku bergegas masuk kedalam mobil.
Air mata seketika membasahi pipi Hariz. Dia tidak sanggup melihat semua ini, melihat kebahagiaan Hizra dengan bundanya. Dia hanya bisa terdiam dan bercerita dengan sahabatnya, Didit. Didit yang selalu mengerti perasaannya. Derita yang dialaminya dia sampaikan kepada sahabatnya itu.
“Apa kamu ada masalah lagi,Riz?” tanya Didit pada sore itu.
“ Ya, aku sudah muak dengan kehidupan ini. Ini tidak adil! Kenapa harus aku? Kenapa?” Sahabatnya hanya terdiam dan hanyut dalam kesedihan Hariz.
Waktu bergulir begitu cepat. Satu bulan Hariz melewati semua kepedihan ini. Dia berusaha untuk tetap sabar dan kuat untuk menjalani kehidupan ini. Terik matahari yang sangat menyengat membuat siswa-siswi di lapangan gelisah. Dibarisan belakang aku berdiri.
“Begitu pucat. Sepertinya dia sakit,”gumam Hariz.
Tidak ada 10 menit setelah Hariz memperhatikanHizra,adiknyaitu tumbang. Hariz bergegas lari dan membawa adiknya ke UKS. Hizra yang tidak sadarkan diri sampai akhirnya harus dibawa ke rumah sakit. Disana Hariz panik, apa yang harus dia perbuat? Dokterpun keluar dari ruang UGD.
“Bagaimana keadaan adik saya, Dok?” sambil dokter memegang bahu Hariz dia berkata,
“ Adikmu sekarang belum siuman, dia terkena gagal ginjal dan harus segera di operasi.” Hariz kaget dan shok mendengar ucapan dokter tadi. Seorang perempuan dengan panik lari menghampiri sang dokter.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Anak ibu mengalami gagal ginjal dan harus segera mendapatkan donor ginjal,” perempuan itupun menangis. Air matanya seketika jatuh membasahi pipinya.
“Ambil saja ginjal saya, Dok,” ucap perempuan itu.
“Baiklah, tapi kita tes dulu apa ginjal ibu cocok dengan anak Ibu,” dokter dan perempuan itu pergi untuk melakukan tes kecocokan ginjal.
Satu jam berlalu. Hariz masih menunggu hasil tes bundanya. Wajah yang cemas juga terlihat begitu jelas di wajah perempuan paruhbaya itu.
“Bagaimana tesnya, Bunda?” ucapan itu muncul pertama kali dari bibir Hariz. ‘Bunda’ pertama kali dia memanggil wanita itu dengan sebutan bunda.Air mata wanita itupun semakin deras bagaikan air hujan yang tumpah dari langit.
“ Hariz anakku, maafkan bunda, maafkan bunda, Nak,” air mata yang semakin deras sampai suara wanita itu tidak dapat terdengar.
“Bunda yang bodoh telah memisahkan kalian. Bunda yang bodoh karena ketakutan, dan hal ini yang membuat bunda lebih bodoh. Bunda tidak bisa menyelamatkan adikmu.”
“Apa maksud Bunda? Apa yang Bunda katakan?” Hariz tak mampu menahan air matanya saat melihat ibunya yang terkulai lemas dilantai.
“Ginjal Bunda, ginjal ini tidak cocok dengan Hizra,” jawab ibunya sedih.
Hariz tersentak,“Biar aku saja yang mendonorkan ginjalku ini, Bun.”
Terlihat wanita dari kejauhan dan berteriak, “Jangan Nak! Jangan lakukan itu! Kamu tidak boleh melakukan itu! Kita harus cari jalan lain.”
Dia memang mama yang baik. Dia tidak mau kehilangan anak kesayangannya,
“Iya Nak, jangan! Kita cari jalan lain saja.”.
Mereka bingung mencari jalan keluar. Mereka memutuskan mencari orang lain yang sanggup mendonorkan ginjalnya.
Hari semakin larut, tapi belum ada satu orangpun yang mau mendonorkan ginjalnya untuk Hizra.
Perlahan mataku terbuka. Bunda berusaha tersenyum padaku, meskipun air matanya menitik di sudut mata. Bunda menceritakan semuanya padaku. Hariz kini telah hidup tenang dalam diriku.Hariz mendonorkan satu-satunya ginjal untuk adik kesayangannya.Air mataku menetes karena cerita bunda. Sosok yang menyayangiku, sosok yang selalu memperhatikanku, kini hidup dalam diriku. Semua kenagan manis bersamanya, kenangan bernyanyi dengannya, sekarang hanya menjadi sebuah kenangan.Kenagan yang sangat indah dan tidak akan terlupakan di sepanjang usia.
Biodata Penulis
Intan Nurmaya Sari, lahir di Ponorogo, 27 Oktober 1998. Saat ini Intan duduk di kelas XII IPA 1. E-mail: intannurmayas134@gmail.com